Beranda

Kontak

Kontribusi

 

Tahukah Anda...

Naskah Proklamasi dirumuskan di rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol no.1. Sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

 

Kategori Museum

 

  Arkeologi (7)

 

  Benteng (3)

 

  Biologi (9)

 

  Geologi (4)

 

  Lain-lain (8)

 

  Militer (4)

 

  Negeri/Daerah (19)

 

  Pribadi (7)

 

  Sejarah (14)

 

  Seni (7)

 

  Tokoh (14)

 

  Transportasi (3)

   
Publikasi Terkini
 
Pencarian
 

  
Berlangganan Berita
 

  



Lingkungan yang hijau di Fort de Kock, Bukittinggi, Sumatera Barat

 

Pengantar | Komentar | Galeri Foto


radya_museum.jpg

MUSEUM RADYAPUSTAKA, SURAKARTA

Pak becak di Stasiun Solo Balapan menawarkan jasa. Aku ingin jalan saja karena hari masih pagi. Melintas di atas Kali Pepe, anak Bengawan Solo. Tugu Pers di simpang Gajah Mada dan Yasadipura. Dua blok kemudian tiba di Slamet Riyadi. Pohon-pohon asam menaungi jalan. Mungil bunganya menabur diri di trotoar yang lebar (aku hitung-hitung sepuluh langkah ada). Hari yang menyenangkan. Matahari bersinar cerah, langit biru, damai pohon-pohon tua. Apalagi jarang-jarang bisa berjalan di trotoar tanpa mesti berebut ruang dengan pedagang kakilima maupun parkiran motor.

Di sebelah kiri jalan, segera setelah resto O Solo Mio adalah Museum Batik Danar Hadi dengan halaman rumput yang luas. Balai Soedjatmoko tak jauh di sebelah kanan. Sepelemparan batu saja Museum Radyapustaka sudah di depan mata.

Patung dada Ranggawarsita (1802-1873) di halaman museum diresmikan Bung Karno pada tanggal 11 November 1953. Papan nama museum di depannya tertulis 'Museum Radya Pustaka Surakarta' sementara Nancy Florida dalam Introduction and Manuscript of the Karaton Surakarta menulisnya sebagai 'Museum Radyapustaka'. Pada stiker di depan kantor museum tercantum 'Museum Radyapustaka'. Oleh sebab itu nama museum akan ditulis demikian.

Hari itu, Jumat, 21 November 2008. Aku berdiri sejenak di pintu gerbang, menatap kepala Kala yang menghiasi tympanum sebelum melangkah masuk.

 

radya_dewi_sri.jpg

 

ARCA DEWI SRI

 

Dua tahun berlalu ketika aku mengunjungi Radyapustaka lagi. Galeri-galeri masih sama. Ruang Wayang dan patung dada KRA Sosrodiningrat IV (nama memang mirip ayahanda Kartini) di bagian depan. Empat kamar di kanan-kiri sepanjang koridor ditempati Ruang Tosan Aji, Ruang Perunggu, Ruang Keramik, Perpustakaan. Galeri luas di ujung koridor adalah Ruang Etnografika, diapit Ruang Rajamala dan Ruang Memorial KGP Hadiwidjaja di pojok barat dan timur berturut-turut. Di beranda belakang adalah Ruang Miniatur dan Ruang Arca.

 

Halaman belakang yang terbuka dibagi kedalam Ruang Arca Barat dan Ruang Arca Timur. Beberapa batu nisan China di Arca Barat menurut staf museum telah ada sejak rumah dibeli dari Johannes Busselaar. Pohon jambu bol masih terlihat bunganya yang merah seperti terakhir kali aku ke sana. Rindangnya berusaha juga menaungi sebuah arca yang terletak diantara arca dewi (koleksi nomor 9) dan batu relief (koleksi nomor 10). Sekadar disebut arca antromorfis, tapi toh memicu keingintahuan lebih dalam.

Memang menyenangkan menemukan Radyapustaka kini lebih bergaya, meriah, dan dilabeli. Ruang Perunggu terutama menawan dengan patung-patung buddha/bodhisatwa yang memiliki tempatnya di candi-candi Indonesia. Dewi Tara pernah dimuliakan di Candi Kalasan; Dewi Sri dipuja di Candi Barong; Avalokitesvara, Maitreya, dan Samantabhadra dijumpai di relief-relief Candi Borobudur.

 

radya_ruang_wayang.jpg

RUANG WAYANG

Koridor diantara Ruang Wayang dan Etnografika dipajang sejumlah meriam lede yang mungil, digunakan pada upacara pelantikan raja dan penyambutan tamu agung; keris-keris asal Sumatera, Jawa, Madura; gada pusaka Keraton Surakarta dan pedang Amangkurat II. Di tengah koridor terdapat patung dada Johannes Albertus Wilkens, amtenar yang mengompilasi kamus bahasa Jawa-Belanda. Patung ini kemungkinan dipindahkan dari suatu tempat.

Ruang Etnografika yang luas ditempati seperangkat gamelan dikelilingi koleksi seperti maderengga yaitu tempat untuk upacara supitan para putera raja, jali jempana ialah tandu para bangsawan yang diangkat oleh empat orang atau lebih, kremun tandu khusus puteri bangsawan saat bepergian diangkat oleh dua orang atau lebih; mesin jam panggung Taman Keraton Kartasura; hingga sangkar burung perkutut; aneka penutup kepala seperti blangkon, kuluk, topi militer, termasuk irah-irahan yang pernah digunakan oleh Dr. Poerbatjaraka dan KRT Hardjonagoro.

Koleksi Ruang Miniatur melingkupi miniatur Astana Imogiri yaitu makam raja-raja Keraton Surakarta dan Yogyakarta; Masjid Agung Demak, salah satu masjid tertua di Indonesia; Panggung Sanggabuwana adalah tempat bersemadi raja dan merupakan bangunan tertinggi di Surakarta pada masa dibangun Pakubuwono III tahun 1782.

Ruang Arca dulunya memiliki peninggalan Hindu seperti Siwa, Durga, Mahakala, Nandi yang berasal dari Candi Prambanan. Sepasang lingga di tengah koleksi arca diperkirakan berasal dari abad VII-X Masehi.

 

radya_rajamala.jpg

RUANG RAJAMALA

Salah satu koleksi pamungkas Museum Radyapustaka adalah Kiai Rojomolo (bercat merah), hiasan haluan perahu karya putra mahkota pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (1768-1820).

Dahulu kala perahu-perahu keraton melayari Bengawan Solo, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa (527 km) pada saat musim hujan. Salah satunya dinamai menurut hiasan haluan yakni Kiai Rojomolo. Perahu ini digunakan hingga masa pemerintahan Pakubuwono X (1866-1939). Melayari Bengawan Solo dari Surakarta membawa komoditi pertanian seperti padi, lada, kapas, minyak, serta aneka kerajinan tangan ke bandar perdagangan Gresik yang ramai. Pelayaran ditempuh selama delapan hari dan kembali ke Surakarta memuat garam, belacan, ikan asin, maupun dagangan lainnya dari luar Jawa.

 

radya_relief.jpg

RELIEF (PERAHU) KIAI RAJAMALA

Relief di Ruang Rajamala menggambarkan Kiai Rojomolo sebagai perahu tanpa layar digerakkan belasan pendayung. Di bagian tengah terdapat anjung-anjung.

 

Penemuan perahu kuno sejenis Kiai Rojomolo pada tahun 2005 di Desa Padang, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur memberi gambaran tambahan. Dani, putra pembuat perahu dari Cepu menuturkan perahu sepanjang 27 meter dan lebar geladak 4 meter memerlukan 18-20 awak, dengan rincian 14 orang atau lebih sebagai pendorong perahu dengan menggunakan lujuk (batang bambu panjang), dan dua orang di anjungan serta dua lagi di buritan sebagai pemegang dayung (Ekspedisi Bengawan Solo, 2009).

Rojomolo, tokoh wayang Mahabarata yang tidak akan mati selama bisa bersentuhan dengan air. Namun apa artinya Kiai Rojomolo bagi kita sekarang.

Rasaku, dia adalah penjaga memori tentang Bengawan Solo dua abad silam sebagai urat nadi perdagangan dan kehidupan masyarakat; penghubung pedalaman Jawa Tengah dan pesisir Jawa Timur. Namun sekarang kondisi sungai sarat rupa-rupa problem; erosi, banjir, pencemaran. Tak bisa lagi dilayari perahu sekelas Kiai Rojomolo. Koleksi ini semoga mengingatkan kita kembali bahwa dampak perilaku destruktif terhadap alam akhirnya akan ditimba pula oleh manusia sendiri.

Setelah terungkap kasus pencurian yang mengejutkan, kini Museum Radyapustaka mulai bergeliat dan berbenah. Dengan keseriusan serta kerja keras yang konsiten semoga akan bangkit sebagai satu dari ikon Solo: The Spirit of Java. Semoga pula di kemudian hari akan hadir galeri khusus mengangkat makna nama yang disandang museum: Perpustakaan Keraton/Negara. Sebagai ruang pamer dimana pengunjung dapat merasakan kebesaran Museum Radyapustaka.

 

Tanggal Terbit: 06-02-2011

 

 
  Copyright © 2009-2020 Museum Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.