Beranda

Kontak

Kontribusi

 

Tahukah Anda...

Museum Masjid Agung Demak memiliki 'Tafsir Al-Qur'an Juz 15-30' tulisan tangan Sunan Bonang.

 

Kategori Museum

 

  Arkeologi (7)

 

  Benteng (3)

 

  Biologi (9)

 

  Geologi (4)

 

  Lain-lain (8)

 

  Militer (4)

 

  Negeri/Daerah (19)

 

  Pribadi (7)

 

  Sejarah (14)

 

  Seni (7)

 

  Tokoh (14)

 

  Transportasi (3)

   
Publikasi Terkini
 
Pencarian
 

  
Berlangganan Berita
 

  



Museum Joglo Ciptowening, Imogiri

 

Pengantar | Komentar | Galeri Foto


KUPU-KUPU, MUSEUM, JUNI@YOGYAKARTA

 

Hutan Pinus Mangunan, 14/6/16. Tengah hari yang lewat tapi hujan menolak mati. Menyisakan rintik-rintik dan rasa pinus, dan becek tanah merah. Lagi liat; plastisitas ala lempung hasil lapuknya batugamping. Walau..walau...toh tetap ngetrek. Hanya sepelemparan, kelihatan tenda-tenda bagus. Lagi latihan, katanya pak tentara. O! Klu gitu saya balik aja deh, gak kena peluru nyasar ntar, aku bilang #serius. Mereka tertawa, gak, katanya.

Tapi balik juga ke seberang jalan karena hujan kebelet kenceng. Aman di sana karena ada saung. So cute atapnya dari kulit pohon kayu putih. Ketemu semut gede yang betah, yang punya lorek hitam dan putih, dan tak peduli dingin dan kabut. Mungkin sudah terbiasa kemarau yang lebih dingin lagi.

Hutan Pinus Mangunan sekitar 500 meter dpl. Isinya gak cuman pinus. Ada pohon keren juga. Namanya sembirit. Buahnya klu matang dari hijau jadi oranye dan merekah. Bunganya putih #kenapa. Bijinya hitam asli #kokbisa. Buah ini total racun. Kecuali udah matang banget, aril yang udah warna krem bisa dimakan #katanya. Tanaman asli dari Afrika Barat. Negeri yang gak ada nadanya maupun jejaknya di memori kita. Hye..  

TB Social Agency, 16/6, 13.20. Beli Eichmann in Jerusalem: Reportase tentang Banalitas Kejahatan. Harga 60ribu, diskon 30persen, bayar 42ribu. Akhirnya (seperti itulah rasanya) ada yang menyatakan, ‘...pengeboman saturasi di kota-kota terbuka dan, di atas segalanya, penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, jelas merupakan kejahatan perang menurut Konvensi Den Haag.’ Cara Arendt melihat Eichmann mulai membentuk persepsiku tentang pilot-pilot yang menjatuhkan bom nuklir.

Mundu berbuah@ Banyunibo, 18/6. Tengah hari yang mendung. Kupu-kupu airterjun (Yoma sabina) setelah sisa matahari, cari tidur dibawah daun melinjo. Gantung di sana kayak daun kering.

 

V_museum.jpg

MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA

Vredeburg (Bagian 1), 19/6. Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta adalah keajaiban di ujung jalan setelah Pasar Beringharjo dan Mirota Batik. Sebuah niche yang asri, jauh dari ingar-bingar Malioboro. Sebait dunia bertempo largo. Semuanya serba santai, sumilir, dan burung-burung kecil yang warnanya cokelat.

Tak urung, beberapa hal terasa banget jiwitannya di Vredeburg. Salah satunya ‘Peta Wilayah Republik Indonesia’ di Ruang Diorama III; menggambarkan penyusutan wilayah RI seiring dengan perjanjian demi perjanjian dengan Belanda. Tentu saja kita telah dirugikan. Jadi pertanyaannya: jikalau begitu, mengapa para pendiri bangsa mau berunding dengan Belanda. Mm, yok lihat dengan sedikit mikir, sedikit common sense. Ah benar, sampeyan menyebutnya: cum grano salis.

Pertama-tama, simak deh Bung Karno tentang Perjanjian Linggarjati (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2014), 'Inilah sumber dari angin ribut. Meski peringatan akan datangnya angin ribut itu masih tersimpan di dada setiap orang, kami sangat membutuhkan waktu untuk bernapas...'

Waktu untuk bernapas? Apa itu persisnya.

Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil (Tempo, 2010) memberi kita gambaran kondisi Indonesia pada saat kedatangan Sekutu yakni sebelum Perjanjian Linggarjati, ‘Pertempuran besar meletus di berbagai kota, menghadang Belanda yang bersembunyi di balik Sekutu. Semarang diguncang perang lima hari, 14-19 Oktober 1945. Sehari kemudian, Jenderal Soedirman dan Tentara Keamanan Rakyat bergelimang darah menahan laju tentara Sekutu di Ambarawa. Tak berapa lama, Surabaya membara pada 10 November. Perang hadir di depan mata, dan Indonesia terancam kalah.’

Terancam kalah? Kok bisa. Untuk itu kita berutang informasi kepada Rosihan Anwar (Sutan Sjahrir, 2011). Harap dimaklumi gayanya yang serba to-the-point, ‘Semangat juang pemuda bergelora, namun tentara Indonesia tidak kuat. Sjahrir harus realistis.’ Ternyata, kita kekurangan senjata.

 

V_treaty.jpg

RUANG DIORAMA TIGA

Pada November 1946, Perjanjian Linggarjati pun ditandatangani. Untuk mengantipasi langkah Belanda di luar Linggarjati, Bung Hatta pun berangkat ke India untuk meminta bantuan namun Nehru mengemukakan masalah senjata masih di tangan Inggris. Tak urung menjanjikan bantuan di PBB.

Pada kondisi seperti itulah Belanda melancarkan Agresi Militer I. Hari yang terjadi sembilan bulan setelah Linggarjati, dikisahkan BK, ‘Pagi-pagi benar tanggal 21 Juli 1947 tank, tentara, kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat pembom melancarkan serangan di Jawa, Madura, Sumatera.’ Indonesia telah melakukan perlawanan keras di sejumlah kota namun, ‘....kedudukan Indonesia semakin terjepit. Pasukan Belanda telah menguasai separuh Jawa. Posisi ibu kota di Yogyakarta pun terancam (Sjahrir, 2010).’

Beruntung diplomasi yang dibangun pendiri bangsa seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir telah menarik simpati negara-negara sahabat yang mendukung perjuangan Indonesia, ‘Pada 30 Juli 1947, India dan Australia resmi mengajukan surat permintaan agar kasus Indonesia dibahas dalam rapat Dewan Keamanan PBB. Meski mendapat tentangan dari Belanda dan trio kolonialis Inggris, Prancis, dan Belgia, permintaan kedua negara itu diterima melalui voting anggota dewan pada 12 Agustus 1947 (Sjahrir, 2010).’

Pada bulan Oktober, Komisi Tiga Negara dibentuk PBB untuk memediasi perundingan Indonesia-Belanda di kapal perang Amerika Serikat USS Renville. Belanda hanya mau mengakui RI secara terbatas. Tentu kita marah tetapi pilihan tidak pernah seramai rijsttafel. Siapa tidak sependapat dengan Bung Karno, 'Ini adalah usul-usul yang sama sekali tidak bisa diterima, tidak menyenangkan dan tidak adil.'

Tapi?

Bung Karno, 'Tetapi para panglima memberi tahu padaku bahwa persediaan amunisi dan perbekalan dalam keadaan kritis. Kami tidak akan dapat bertahan jika terjadi serangan lagi. Tidak ada pilihan kecuali berunding.'

Saat berpidato di Bukittinggi, Bung Hatta (Untuk Negeriku, 2011) menegaskan, 'Perjanjian Renville hanyalah satu mata rantai dalam perjuangan kita yang panjang. Ada orang yang mengatakan kita kalah. Akan tetapi, aku peringatkan bahwa bangsa yang kalah ialah bangsa yang mengaku kalah. Perjuangan kita teruskan dengan berbagai risikonya. Kita sudah diterima mempertahankan kemerdekaan kita dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab itu, Republik Indonesia tidak bisa lagi dihapuskan dari peta dunia.'

Betul bahwa Renville telah mereduksi wilayah RI tapi kita simak deh analisis MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern, 2011), ‘Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang bijaksana dari pihak Republik dalam menerima persetujuan itu (suatu tindakan yang sebagian didorong oleh kurangnya amunisi di pihak Republik) menyebabkan mereka memenangkan kemauan baik Amerika yang sangat menentukan.’

Mm...menarik, dan maksudnya...
Yok lanjut!

Desember 1948. Tak sampai setahun Renville, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Ibukota RI, Yogyakarta berhasil dikuasai dengan mudah. Presiden dan Wakil Presiden turut ditawan. Namun akibatnya justru fatal bagi Belanda. Indonesia melancarkan perlawanan gerilya sekaligus diplomasi luar negeri yang sangat berhasil. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dunia internasional mengecam tindakan Belanda. Amerika Serikat secara terbuka mengutuk serta mengancam menghentikan bantuan dana rekonstruksi yang sangat dibutuhkan oleh Belanda.

Nah! Kali ini Belanda benar-benar terpeleset ke lubang yang digalinya sendiri. Walau berhasil menduduki wilayah RI dan mendirikan negara-negara boneka namun tekanan internasional memaksa Belanda duduk di meja perundingan. Mula-mula Roem-Royen, kemudian berlanjut ke Den Haag (Konferensi Meja Bundar, Agustus-November 1949). Delegasi Indonesia dipimpin oleh Bung Hatta. Belanda meski tidak kehilangan kepala batu, toh pada akhirnya tunduk. Lahir isi perjanjian KMB sebagai berikut:

‘Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.’

‘Peta Wilayah Republik Indonesia’ di Vredeburg menunjukkan sebagai hasil KMB, RI sampai tinggal sak iprit. Betul, TAPI, kita tidak bablas lupa sejarah bahwa sebagai hasil KMB, Indonesia Raya pada saat itu eksis sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) dan didalam RIS inilah tumplek blek yang disebut Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Sumatera Selatan, etc etc; dan waktu kemudian membuktikan ucapan Bung Karno, ‘...aku menerima gagasan Negara Indonesia Serikat sebagai taktik sementara. Aku menyadari, suatu waktu perundingan yang sarat dengan tawar-menawar ini akan hancur dan akan membawa kami kembali pada cita-cita dasar, yaitu satu republik yang berdaulat, merdeka dan berbentuk negara kesatuan.'

Tak sampai setahun ketika segala macam negara boneka pun bubar dan dari RIS kita lahir sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Demikianlah temans, Indonesia ternyata pernah loh memukul mundur Belanda dengan cukup telak dari Den Haag.

Museum Perjuangan Yogyakarta, 22/6. Setelah setengah tahun gak pernah kemana-mana sekarang jor2an kesana-kemari. Saban-saban ke museum dan museum. Atau karena saking banyaknya museum di DIY. Lima puluh ada kali yah meski kualitas tidak lantas sederap kuantitas.

Pertigaan Watumurah, 29/6. Di semak tepi jalan lihat kupu-kupu laskar dan merahputih (Hebomoia glaucippe). Merahputih bukan jenis kupu yang mudah tersipu. Sayapnya berpendar dengan berani memamerkan bercak orange yang mencolok. Benar-benar berani menantang predator! Tentu saja karena punya modal: sayapnya beracun.

Begitulah hari demi hari, dan bulan Juni dan hujan pun berlalu.
Sampai jumpa!

 

Tanggal Terbit: 14-08-2016

 

 
  Copyright © 2009-2020 Museum Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.