MUSEUM PANDJI TISNA SINGARAJA, BALI
Singaraja, 12 September 2009. Tadinya aku hendak ke Museum Bulelang tapi museum masih tutup di pagi itu. Tidak juga terlihat papan jadwal kunjungan. Seorang ibu melintas ketika aku duduk-duduk di anak tangga. Tadinya aku bertanya museum biasanya buka jam berapa. Tanpa menjawab pertanyaanku ibu ini menunjuk masih ada sebuah museum di belakang.
Kaget menyeruduk ketika aku sampai di sana. Ternyata Museum Pandji Tisna atau tepatnya Puri Agung Singaraja. Ini Pandji Tisna (1908-1978) yang menulis Sukreni Gadis Bali? Pengarang yang dulu di sekolah menengah aku belajar dan mendengar guruku berkata dia adalah Raja Bali, sehingga menerbitkan heranku mengapa Raja Bali menulis novel. Tanpa pernah tebersit suatu hari aku akan sampai di sini. Apalagi mengalami perjumpaan dengan mesin ketik legendaris yang digunakan untuk menulis novel tersebut.
SANG MESIN KETIK
Mesin ketik Royal telah bertahun-tahun digunakan Pandji Tisna untuk menulis novel maupun puisi. Benar-benar telah tua dia. Karat sudah berdiam, cetakan huruf-huruf pun tak berbekas lagi di atas tuts. Namun tidak mengurangi rasa dia telah menyertai Pandji Tisna dalam perjalanan waktu yang panjang. Bersama melalui saat gundah maupun gembira. Sang sahabat telah meninggal pada tahun 1978. Mesin ketik tua kini berdiam dalam masa purnabaktinya. Hening adalah miliknya sekarang tetapi toh tidak tanpa rasa dia tahu begitu banyak.
‘Di pinggir jalan kecil yang berkelok-kelok, di antara kebun-kebun kelapa menuju ke Bingin Banjah, desa yang belum dapat disebut desa benar, hanya sekumpulan orang-orang tani saja, adalah sebuah kedai.’
Apa yang ada dalam benaknya ketika Pandji Tisna mulai mengetik kisah Sukreni Gadis Bali (SGB).
SUKRENI GADIS BALI
SGB terbit pada tahun 1936. Kisah ini mengambil panggung di sebuah kedai di pinggir jalan kecil yang berkelok-kelok. Berbagai peristiwa kemudian berlangsung di sini. Diantaranya Men Negara menjebak Luh Sukreni tanpa menyadari Sukreni adalah anak kandungnya sendiri. Karena Sukreni masih bayi ketika ditinggal Men Negara pindah dari Karangasem ke Buleleng.
Di kemudian hari di kedai ini juga mantri polisi I Gusti Made Tusam mengayunkan kelewangnya menebas leher I Gustam, sedangkan orang yang hendak dibasminya ternyata adalah anaknya yang lahir dari kejahatannya memperkosa Sukreni.
Karma, ceritakan karma. Begitu dulu aku belajar tentang warna dominan dalam Sukreni Gadis Bali. Jika hati memelihara niat dan melakukan hal jahat maka akhirnya yang akan tersakiti adalah diri sendiri. Manusia akan memanen pahit karena menanam perbuatan jahat. Namun bagaimana dengan Sukreni.
SGB dipublikasi dalam bahasa Inggris dengan judul The Rape of Sukreni (1987) oleh Yayasan Lontar. Judul ini mengingatkanku kepada Noli Me Tangere (Touch Me Not) karya Jose Rizal pahlawan Filipina. Kisah metafora negeri dalam penjajahan. Kerap memang aku merasa jika Sukreni tidak semata-mata seorang gadis dari Pulau Bali. Dia adalah Bali yang diperkosa oleh penjajah. Bahwa cerita ini mengandung janji tentang suatu hari pelaku kejahatan akan mendapat balasannya, memang memberiku rasa tentang kesedihan sang pengarang menyaksikan negerinya dijajah dan penderitaan yang dialami rakyat. Dia ingin melakukan sesuatu, setidaknya membesarkan hati mereka bahwa tidak selamanya hidup akan begitu.
PATUNG GUSTI PANDJI SAKTI
Melangkah keluar dari Puri terlihat di simpang jalan berdiri Patung Gusti Pandji Sakti, Raja Buleleng 1660-1700 nenek-moyang Pandji Tisna. Di sepanjang Jalan Veteran terdapat beberapa bangunan penting. Gedong Kirtya mungkin satu-satunya museum lontar di Indonesia. Menarik hati menemukan di depan Sekolah Dasar Nomor 1 dan 2 Paket Agung berdiri patung seorang laki-laki berbusana jawa. Beberapa anak sekolah yang aku tanya tidak tahu siapa figur tersebut. Seorang laki-laki berusia lanjut menghentikan sepedanya. Dia yang memberitahuku bahwa sosok itu adalah ayah Bung Karno, Sukemi Sosrodiharjo yang pernah mengajar di situ.
Singaraja memang memiliki banyak sisi menarik dan kejutan menyenangkan.
Alfred Russel Wallace pun pernah menceritakan, ‘It was after having spent two years in Borneo, Malacca and Singapore, that I made a somewhat involuntary visit to these islands on my way to Macassar. Had I been able to obtain a passage direct to that place from Singapore, I should probably never have gone near them, and should have missed some of the most important discoveries of my whole expedition the East.’
Pelabuhan Buleleng di Singaraja adalah tempat Wallace mendarat saat menyinggahi beberapa pulau sebelum mencapai Makasar. Sedangkan beberapa dari penemuan paling penting diantaranya pengamatan bahwa perbedaan besar flora pulau-pulau yang dipisahkan Selat Lombok (Bali dan Lombok) tidak bisa dijelaskan dengan hanya mengandalkan perbedaan fisik kedua kawasan. Sedemikian besar perbedaan fundamental tersebut menurut Wallace sehingga dapat ditetapkan menjadi kawasan zoologi tersendiri di globe kita. Di sini tak salah lagi kita membaca cikal-bakal kelahiran Garis Wallace.
Jika Ternate dikenal dunia sebagai tempat Wallace menjabarkan pemikiran evolusinya kepada Charles Darwin (George Beccaloni dan Charles Smith menyebut surat tersebut ditulis di Dodinga, Halmahera) maka tidak semestinya Singaraja kalah gaya, alias kalah promosi.
Sesungguhnya Singaraja memiliki aneka sisi yang bisa dibanggakan daripada kiraannya.
Tanggal Terbit: 19-06-2011 |