Beranda

Kontak

Kontribusi

 

Tahukah Anda...

Museum Brawijaya, Malang, memiliki koleksi laras karaben dan sten yang pernah digunakan dalam Pertempuran 10 November dan ditemukan di Gunungsari, Surabaya.

 

Kategori Museum

 

  Arkeologi (7)

 

  Benteng (3)

 

  Biologi (9)

 

  Geologi (4)

 

  Lain-lain (8)

 

  Militer (4)

 

  Negeri/Daerah (19)

 

  Pribadi (7)

 

  Sejarah (14)

 

  Seni (7)

 

  Tokoh (14)

 

  Transportasi (3)

   
Publikasi Terkini
 
Pencarian
 

  
Berlangganan Berita
 

  



Museum Goedang Ransoem, Sawahlunto

 

Pengantar | Komentar | Galeri Foto


msu_penjaga_candi.jpg

SINGA PENJAGA CANDI BAHAL

Sebuah buku di tumpukan obral, kertasnya sudah rada kuning. Aku beli karena yang menulis kata pengantar adalah John Miksic penulis buku Borobudur. Lagipula harganya dibanting tandas, tak sampai sepiring mie goreng. Forgotten Kingdoms in Sumatra (Schnitger, 1989) lalu mirip namanya berdiam bertahun-tahun di rak. Tak terlalu diingat tapi juga tak sepenuhnya dilupakan. Sekali dua kali pernah aku bawa untuk teman traveling.

Ketika di Museum Sumatera Utara, Medan, menemukan arca singa dengan keterangan, 'Candi Bahal I (Padang Lawas, Tapanuli Utara, Sumatera Utara) berfungsi sebagai penjaga pintu masuk candi, masa abad IX-XI', rasa-rasa ini nama pernah dengar dimana. Kembali ke Jakarta langsung aku ublek si Forgotten Kingdoms *lebay dot com cari di daftar isi saja padahal*. Aha! Ini dia: Padang Lawas. Ada cerita tentang arca singa juga.

‘...one perceives at Bahal I, to the left and to the right of the entrance, two life-size statues of men with penis erect, standing on the head of an ogre; at Bahal II, there are no statues of men but of prancing lions.’

Bolak-balik memperhatikan arca singa yang aku jepret dari museum. Prancing lions? Posisi prancing itu kan seperti kuda dalam lukisan Napoleon Crossing the Alps. Jadi yang dimaksud Schnitger singa ini atau bukan toh. Sepertinya bukan tapi singa ini penjaga pintu candi kok. Lagipula kayaknya di museum tidak melihat singa candi yang sepasang kakinya terangkat *singa penjaga kelenteng pun hanya satu kakinya yang diangkat*. Setelah disimak sekali lagi, olaa...ternyata salahku euy. Singa koleksi museum berasal dari Candi Bahal I, sedangkan arca prancing lion yang dimaksud Schnitger dari Candi Bahal II.

Tapi sebenarnya aku jadi lebih ingin tahu arca laki-laki lagi ereksi itu sekarang ada dimana *ups*

 

msu_kubur.jpg

MUSEUM SUMATERA UTARA

Museum ini, yakin, Anda akan menyukainya. Setiap aspek seperti tata letak, tampilan, lighting, berpadu manis menciptakan suasana yang nyaman. Plus label keterangan memadai. Tadinya aku mengira museum digarap orang luar. Ternyata Kepala Museum memang pernah diundang untuk studi banding selama dua pekan di Wollongong City Gallery dan museum-museum lainnya di Wollongong, Australia. Hasilnya terbukti membanggakan. Kelas tersendiri di jajaran museum Indonesia. Profisiat untuk kapten dan seluruh kru Museum Provinsi Negeri Sumatera Utara!

Koleksi museum di lantai satu dikelompokkan secara kronologis kedalam tujuh galeri, yaitu Masa Prasejarah, Kebudayaan Sumatera Utara Kuno, Masa Hindu Buddha (tadinya aku kira cerita tentang Hindu-Buddha hanya ada di Jawa dan Sumatera bagian selatan), Masa Islam, Kolonialisme di Sumatera Utara, Perjuangan Rakyat Sumatera Utara, Gubernur dan Pahlawan Sumatera Utara (salah satu pahlawan nasional dari Sumut adalah Amir Hamzah, penulis Nyanyi Sunyi). Sedangkan lantai dua tampaknya masih memerlukan sentuhan magic wand *kebanyakan baca Bobo semasa kecil*

Beberapa koleksi di Galeri Kebudayaan Sumatera Utara Kuno selain arca singa dari Candi Bahal adalah Patung Pangulubalang (penjaga kampung), Patung Mejan dari Pakpak-Dairi (lambang kendaraan nenek moyang); replika kubur batu/sarkofagus Ompu Soribuntu Sidabutar, Tomok, Pulau Samosir; dan peti mati Nias dengan ukiran laki-laki berjenggot, memakai kalung, mahkota, dalam posisi tidur; serta pustaha laklak.

 

msu_pustaha.jpg

PUSTAHA LAKLAK

Aku berdiri cukup lama memperhatikan pustaha laklak atau naskah Batak yang dilipat seperti akordeon. Pertama, karena berusaha memahami maksud keterangan, '...berisi tentang pagar atas perbuatan orang lain yang menganggap enteng beserta ramuannya.' Mungkin maksudnya isi pustaha laklak tentang petunjuk dan ramuan untuk menangkal guna-guna maupun perbuatan tenung lainnya.

Kedua, karena sampul dibuat dari kayu. Pustaha terdiri dari dua bagian; laklak (kertas) dan lampak (sampul). Laklak koleksi museum dibuat dari kulit kayu alim, sejenis gaharu, dan tinta untuk menulis dari jelaga kayu jeruk. Sedangkan lampak, menurut Uli Kozok (Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, 1999), mengutip narasumber biasanya dibuat dari kayu ingul/suren.

Aku pernah beberapa kali melihat pohon suren di perkebunan teh tapi tak pernah menyangka akan menemukan kegunaannya sebagai sampul buku. Rasanya aku akan lebih menghormati pohon suren lagi saat bertemu atas kontribusinya terhadap kebudayaan manusia.

Ketiga, hiasan di bagian sampul depan. Tadinya aku kira cecak tapi ternyata kadal. Apa ya gerangan maknanya.

Disayangkan generasi muda semakin tak kenal aksaranya sendiri. Kami-kami ini contohnya. Padahal kakekku menguasai Arab-Melayu *kami menyebutnya aksara taoge* tapi habis tak berbekas pada cucu-cucunya *Belanda setidaknya masih menyisakan bitterballen*. Mama dulu pernah diajari Arab-Melayu, sekarang rada-rada lupa tapi untuk membaca masih okelah. Sedangkan menulis, Mama masih ingat caranya menulis: Saya makan nasi *naga-naga itu kalimat pertama yang dipelajari*. Bisaku cuman terlongo-longo mendengar penjelasan tentang bagaimana huruf-huruf itu ditulis.

 

msu_komoditi.jpg

KAYU MANIS, PALA, CENGKIH

Galeri Kolonialisme di Sumatera Utara tak kalah mengasyikkan. Rasanya seperti mendarat dengan kapsul waktu di Medan pada suatu masa yang silam, dengan toko kelontong dan obat yang jadul banget. Foto-foto bangunan tua berukuran raksasa serta aneka komoditi seperti cengkih, kayu manis, pala menambah rasa suatu ketika dalam sejarah. Ini rempah-rempah yang sering didengar tapi jarang dilihat. Namun siapa yang tidak pernah merasakan sentuhan ajaib pala dalam kroket kentang, atau secangkir cappucino dengan taburan kayu manis. Perfetto! Rempah-rempah kecil tapi mengubah dunia. Mungkin juga seperti cinta, tak pernah perlu terlalu banyak namun dalam eksisnya ciptakan indah.

Dari Galeri Kolonialisme, perjalanan lanjut menuju Taman Purbakala. Di tengah Taman Purbakala sebuah gazebo menaungi makara yang diletakkan oleh Bung Karno pada tanggal 28 Oktober 1954 sebagai koleksi pertama Kebun Artja Medan cikal-bakal Museum Sumatera Utara. Si makara mesti mencangah mulutnya sedemikian lebar karena ada seorang laki-laki dewasa berdiri tegak di sana. Mungkin makara dari salah satu candi di Padang Lawas.

Taman Purbakala dikelilingi oleh arca dan osa-osa dari Nias, beberapa prasasti dari kompleks Candi Bahal, aneka tumbuhan unik seperti buah makassar (Brucea javanica). Menurut keterangan di lempeng kecil yang disekrup ke pot plastik hitam, buah makassar berkhasiat menghentikan pendarahan, memiliki aktivitas antidisentri dan antimalaria *woww..serbaguna ya*

...

Hampir jam tiga aku melangkah keluar dari museum. Malam yang sekejab tiba. Menikmati bintang-bintang langit Medan. Iya In, orang-orang seperti Van Gogh mengapa mengakhiri hidupnya. Barangkali McLean ada benarnya ketika menulis: This world was never meant for one as beautiful as you.
Tapi..
Ah! Vincent!

 

 

 

 

Tanggal Terbit: 20-06-2010

 

 
  Copyright © 2009-2020 Museum Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.